KAJIAN KELAYAKAN
PEMANFAATAN BIBIT JATI
HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI
HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI
Oleh Ir.
Widarjanto, MM dan Ir. Suparyo Hugeng
Abstrak
Pemanfaatan
bioteknologi pada tanaman di Indonesia sampai saat ini masih terbatas,
diantaranya pada teknik kultur jaringan. Teknik ini diaplikasikan dalam
perbaikan mutu genetik dan perbanyakan tanaman serta penyimpan plasma nutfah
secara in vitro. Kultur jaringan diutamakan pada tanaman yang sulit
dikembangkan secara generatif dan memerlukan waktu yang relatif lama.
Perbanyakan melalui kultur jaringan memiliki kelebihan antara lain tananam baru
mempunyai sifat sama dengan induknya, bibit dapat diproduksi dalam jumlah besar
dan bebas dari hama
dan penyakit.
Tujuan kajian ini adalah melihat peluang dan kendala
usaha pembibitan jati hasil kultur jaringan skala kecil di kawasan
transmigrasi. Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa (1) Sebagian besar lahan
pekarangan transmiran yang belum termanfaatkan dapat digunakan untuk
usaha pembibitan jati. (2) Usaha pengembangan bibit jati hasil kultur jaringan
cukup menguntungkan. (3) Tenaga yang tersedia di lokasi cukup untuk
dialokasikan sebagai usaha pembibitan jati kultur jaringan skala kecil. (4)
Sebagian besar transmigran mempunyai persepsi bahwa usaha pengembangan bibit jati
kultur jaringan dapat menjadi sumber pendapatan tambahan. (5) Usaha
pengembangan bibit jati kultur jaringan terkendala oleh biaya investasi yang
relatif besar menurut ukuran transmigran. (6) Ketidakpastian permintaan pasar
terhadap bibit jati kultur jaringan menyebabkan transmigran belum
mengusahakannya secara komersial.
Pendahuluan
Salah satu produk bioteknologi
yang mempunyai prospek cukup baik untuk diperkenalkan di kawasan transmigrasi
adalah bibit jati hasil kultur jaringan. Kelebihan bibit jati tersebut adalah
pertumbuhan pohon relatif seragam, tingkat pertumbuhan per tahun lebih cepat,
bentuk batang lebih lurus, silindris, serta bebas kontaminasi hama dan penyakit (Trubus, 2001). Perdagangan
bibit jati hasil kultur jaringan ini diharapkan dapat sebagai usaha komersil
skala petani kecil (private nursery),
dan dapat menambah pendapatan transmigran dan penduduk lokal.
Tanaman jati dapat diperbanyak
melalui cara generatif dan vegetatif. Cara generatif adalah dengan perbanyakan
melalui biji yang disemaikan dan dibiarkan tumbuh tunas baru serta dipelihara
sebagai bibit. Jika terlalu besar bibit diremajakan dengan cara memangkas
batang dan dibiarkan tumbuh tunas baru, tunas ini di pelihara sebagai batang
baru. Cara tersebut lebih dikenal dengan istilah Stump. Perbanyakan ini sudah dikenal di kalangan masyarakat
Kabupaten Bengkulu Utara. Sedangkan perbanyakan melalui vegetatif dilakukan
melalui kultur jaringan, yaitu perbanyakan melalui pertumbuhan sel-sel jaringan
titik tumbuh tanaman. Cara pembibitan jati melalui kultur jaringan masih
dilakukan oleh produsen bibit dan belum dapat diadopsi oleh petani, karena
teknologi ini padat modal dan berteknologi tinggi. Peluang usaha yang dapat
diadopsi dari teknologi ini adalah pembesaran bibit jati setelah fase aklimatisasi
atau pada fase adaptasi bibit dengan lingkungan luar laboratorium (bibit
berumur ± 4 minggu).
Permasalahan dalam menggunakan
produk bioteknologi khususnya bibit jati hasil kultur jaringan untuk
meningkatkan produksi pertanian di kawasan transmigrasi adalah rendahnya
kemampuan adopsi teknologi tersebut oleh transmigran, terbatasnya pemilikan
modal dan tidak adanya akses ke sumber-sumber modal semacam lembaga keuangan
formal. Selain itu, lokasi permukiman transmigrasi (kawasan transmigrasi) umumnya jauh dari pusat distribusi faktor
produksi, termasuk bioteknologi, sehingga pengadaannya secara individual untuk
digunakan secara kontinyu dalam meningkatkan produksi pertanian menjadi sangat
mahal. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kajian tentang peluang dan kendala
usaha pembibitan jati kultur jaringan skala kecil di kawasan transmigrasi.
Sasaran kajian ini adalah tersedianya informasi peluang dan kendala
pengembangan dan pemanfaatan bibit jati kultur jaringan sebagai usaha
pembibitan skala rumah tangga di kawasan transmigrasi.
Kajian dibatasi pada aspek teknis, ekonomi dan
sosial. Disamping itu juga dilakukan sosialisasi bibit jati kultur jaringan dan
disertai bimbingan teknis kepada transmigran dan penduduk lokal terpilih. Dari
hasil sosialisasi ini diharapkan dapat diketahui persepsi dan minat transmigran
dan penduduk lokal terhadap pemanfaatan bibit jati kultur jaringan sebagai
usaha tambahan.
Analisis peluang dan kendala
pemanfaatan bibit jati kultur jaringan dengan metode diskriptif kualitatif. Untuk melihat persepsi dan minat
transmigran dalam pemanfaatan bibit jati kultur jaringan, dilakukan pembobotan
variabel menuntut metoda Likers (skala 5 tingkat).
Analisis Teknis, Ekonomi
Dan Sosial
Analisis Teknis
Agroekologi
Iklim
Bibit jati akan tumbuh dengan baik
pada daerah yang memiliki curah hujan 1.200 – 2.500 mm per tahun dengan 3 – 5
bulan kering (curah hujan kurang dari 50 mm per bulan), temperatur 19 – 36 °
C dan intensitas cahaya 75 – 100 persen (PT. Fitotek, 2002).
Lokasi sosialisasi bibit jati kultur
jaringan di Balai Teknik Produksi Transmighrasi Bengkulu dan Desa-desa di
sekitarnya (desa Kuro Tidur, Padang Jaya, Tanjung Harapan dan Marga Sakti) mempunyai
intensitas curah hujan sebesar 2.000 mm dengan temperatur 32°C
pada ketinggian 250 m dari permukaan laut. Menurut ahli dari PT Fitotek (2002),
daerah tersebut masih tergolong sesuai untuk pertumbuhan bibit jati kultur
jaringan, sehingga usaha pembibitan jati kultur jaringan di lokasi penelitian
dinilai layak secara teknis.
Kemiringan Lahan
Departemen Transmigrasi
(1992) telah menentukan batas kriteria kelayakan lahan untuk transmigrasi pola
tanaman pangan antara lain kemiringan kurang dari 8 persen. Apabila lahan memiliki
kemiringan lebih dari 8 persen, maka harus dilakukan tindakan konservasi tanah.
Kemiringan lahan yang dimiliki petani terutama lahan pekarangan petani di
daerah sosialisasi bibit jati kultur jaringan tidak lebih dari 8 persen.
Pemanfaatan lahan petani untuk produksi tanaman palawija dan tahunan kelihatan
tidak mengalami hambatan, serta terlihat tertata dengan baik. Oleh karena itu
terdapat peluang pembibitan jati kultur jaringan pada lahan pekarangan.
Ketersedian Lahan dan Media
Tanah
Ketersediaan lahan untuk
usaha pembesaran bibit jati kultur jaringan skala kecil (200 batang bibit) per
keluarga di lokasi penelitian tidak menjadi hambatan karena usaha tersebut
hanya membutuhkan luasan lahan kurang lebih 100 m2. Lahan pekarangan
yang dimiliki penduduk umumnya 2.500 m2 dan masih tersisa seluas
200-300 m3 yang belum diusahakan, sehingga masih cukup luas untuk usaha
pembibitan.
Pembuatan media tanah untuk pembibitan
tidak mengalami kesulitan karena bahan-bahan seperti tanah dan sekam tersedia
dalam jumlah yang cukup. Media tanah dapat diambil dari lahan sekitar dan sekam
gergaji atau sekam padi dapat diambil dari tempat penggerjajian kayu atau
penggilingan padi dengan harga relatif murah sekitar Rp 50,- per kg. Tingkat
kemasaman tanah yang dibutuhkan untuk media tanah dalam polibag sekitar
5,0-8,0. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pH tanah di lahan pekarangan sekitar
5,0-6,5.
Kendala- kendala lain
Selain kendala fisik dan kesuburan
tanah, usaha pembibitan jati kultur jaringan tidak lepas dari kendala hama dan penyakit bibit
tanaman tersebut. Penyakit bibit tanaman tahunan yang sering menyerang seperti
kutu daun, busuk akar dapat dikendalikan dengan penyemprotan obat-obatan kutu
daun dan mengurangi kelembaban media tanah dalam polibag. Hama yang kadang–kadang merusak areal
pembibitan adalah babi hutan. Hama
ini dapat dikendalikan dengan pembuatan pagar keliling. Menurut penangkar bibit
tanaman tahunan seperti karet, kopi dan kelapa sawit yang ada disekitar lokasi,
intensitas serangan hama
dan penyakit dapat dikatakan relatif kecil sehingga tidak menjadi kendala yang
berarti. Dengan pengalaman ini, maka pembibitan bibit jati kultur jaringan
digolongkan layak bersyarat, yaitu serangan hama babi hutan dapat dikendalikan.
Peralatan dan Bahan yang
dibutuhkan
Tekonologi kultur jaringan
yang padat modal dan teknologi tinggi merupakan kendala utama dalam usaha
pembibitan jati kultur jaringan. Kegiatan yang dapat diadopsi oleh transmigran
dan penduduk setempat adalah usaha pembesaran bibit jati muda (umur 1 bulan).
Usaha pembibitan jati kultur jaringan di daerah penelitian dinilai layak
bersyarat, yaitu diperlukan penyediaan bahan dan alat pembesaran di lokasi agar
mudah diperoleh transmigran.
Tanggapan Pemda dan Swasta
Pemda Propinsi Bengkulu
sangat mendukung adanya kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan komoditas
tanaman kehutanan ung-gulan seperti kayu bawang. Tanaman ini dapat tumbuh
dengan baik pada agroekologi setempat disamping itu kayunya banyak diminati.
Untuk pengembangan tanaman jati, baik jenis lokal maupun kultur jaringan, Dinas
Kehutanan Provinsi Bengkulu belum merekomendasikannya. Namun Pemda Kabupaten
Bengkulu Selatan telah memprogramkan penanaman jati sebagai tanaman hutan
rakyat. Dengan kebijaksanaan ini, banyak bermunculan penangkaran bibit jati
lokal. Bibit jati diperoleh dari Propinsi Lampung dalam bentuk biji, stek dan
cabutan jati muda, sementara penangkaran bibit jati kultur jaringan saat ini
belum ada.
Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkulu
Utara sampai sekarang belum merekomendasikan tanaman jati sebagai tanaman hutan
rakyat, sehingga tanaman jati di daerah tersebut belum berkembang luas.
Permintaan bibit jati di pasaran daerah tersebut sangat kecil. Usaha pembibitan
jati yang ada terbatas pada jenis jati lokal dan hanya sebagai usaha kecil atau
sampingan. Pihak pemda dalam hal ini Dinas Kehutanan maupun Dinas Pertanian,
kurang memberikan bimbingan dan sosialisasi khususnya dalam usaha pembibitan
jati, sehingga petani berusaha hanya berdasarkan pengalaman seadanya.
Pengusahaan pembibitan komoditas jati
lokal skala kecil di Provinsi Bengkulu sudah berkembang sejak 3 tahun. Pada
awalnya, kegiatan pembibitan skala kecil ini dimulai dengan maraknya penanaman
jati di Bengkulu. Mereka mendapatkan bibit jati dari daerah Lampung Selatan. Ada juga yang dibawa
langsung dari Jawa Barat, Jawa Tengah (Cepu) dan Jawa Timur. Sebagian besar
budidaya jati lokal berkembang di Bengkulu Selatan, karena berdekatan dengan
sumber bibit di Lampung. Budidaya tersebut selanjutnya menyebar ke Rejang
Lebong. Di Kabupaten Bengkulu Utara, pengembangan jati masih dalam taraf
coba-coba dan masyarakat masih memerlukan informasi apakah jati dapat tumbuh
dengan baik di Bengkulu Utara.
Di Kota Bengkulu, pengusahaan bibit
jati telah mulai berkembang, ditandai dengan adanya masyarakat yang telah
melakukan usaha ini. Salah satu penduduk kota
Bengkulu yang berhasil dalam mengusahakan jati ini adalah Pak Safrizal.
Penduduk asli Bengkulu yang tinggal di Kelurahan Talang Kering, Kecamatan Muara
Bangka Hulu ini menjalankan usahanya sejak 1 tahun yang lalu. Cara perbanyakan
yang dilakukannya adalah dengan membeli stek tumbuh yang berasal dari Lampung
Selatan dengan harga satu ikat stek (100 stek) adalah Rp. 50.000,-. Stek yang
dibeli kemudian dipindah ke polibag-polibag yang telah berisi media tumbuh
dengan komposisi Urea, pupuk kandang dan tanah bagian atas. Harga jual bibit
jati buatan Pak Safri berkisar Rp. 2.000,- sampai Rp. 4.000,- dengan
persyaratan, bila dibeli dengan partai besar (sekitar 200 batang), maka
harganya Rp. 2.000,-, per batang sedangkan partai kecil sebanyak 10 batang, ia
jual dengan harga Rp. 4.000,-. Di depan rumahnya terpampang papan dengan
tulisan jual bibit jati super. Nama jati super dipakai sebagai nama dagang,
karena sebelumnya sudah ada perusahaan dari Jakarta yang memasok jati dengan nama jati
super. Untuk musim hujan yang akan datang, bibit jati buatan Pak Safri sudah
dipesan sebanyak 500 polibag oleh pembeli dari Bengkulu Utara dan 400 polibag
oleh pembeli dari daerah Curup. Analisis usaha pembibitan jati skala kecil Pak
Safri diuraikan sebagai berikut:
Tabel
1
Analisis
Usaha Pembibitan Jati Skala Kecil untuk 100 Polibag
selama
4 Bulan
No
|
Uraian
|
Banyaknya
|
Jumlah
(Rp)
|
A
|
Biaya Produksi
1. Polibag
2. Pupu kandang
3. Pupuk NPK
4. Stek jati
5. Curacron 50 EC
6. Naungan
|
1
kg
4
karung
2
kg
1
ikat
1
botol
-
|
8.000
24.000
6.000
50.000
18.000
20.000
|
Jumlah
|
126.000
|
||
B
|
Penjualan
|
100
polibag
|
400.000
|
C
|
Keuntungan bersih
|
B
– A
|
274.000
|
D
|
B/C rasio
|
2,2
|
Apabila 100 polibag bibit jati terjual dengan harga Rp.
4.000,- maka diperoleh penerimaan sebesar Rp. 400.000,-. Bila penerimaan
tersebut dikurangi biaya produksi Rp. 126.000,-, maka keuntungan bersih yang
didapat sebesar Rp. 274.000,-, dengan B/C rasio 2,2. Dengan rasio tersebut,
maka usaha pembibitan skala kecil Pak Safri dianggap layak untuk usaha
tambahan.
Pihak swasta yang mendukung pengembangan jati kultur
jaringan di Provinsi Bengkulu sejak 2 tahun yang lalu, PT. Monfori Nusantara
telah melebarkan pemasaran produk bibit jati super. Saat ini perusahaan
tersebut telah membuka kantor cabang di Kota Bengkulu serta telah melakukan
kerjasama penelitian budidaya tanaman jati super dengan Universitas Bengkulu di
satu lokasi di daerah Muko-Muko Utara, Kabupaten Bengkulu Utara.
Tanggapan Universitas Bengkulu terhadap program pengembangan
jati kultur jaringan sangat positif. Menurut salah satu pakar dari jurusan
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, jati dapat tumbuh dengan
baik pada iklim dan agroekologi Bengkulu. Jurusan Kehutanan Universitas
Bengkulu saat ini sedang melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan
pembudidayaan jati kultur jaringan. Beberapa penelitian yang telah diselesaikan
adalah hubungan faktor pertumbuhan jati dengan persemaian sampai penjarangan,
dan pertumbuhan jati pada pola tanam monokultur, serta polikultur dengan sawit.
Alih Teknologi
Di Propinsi Bengkulu pengembangan usaha pembibitan jati
lokal melalui biji, stek, dan cabutan sudah dilakukan sejak 2 – 3 tahun yang
lalu. Hasil kajian ini memperlihatkan cukup banyak usaha penangkaran bibit jati
lokal. Pengembangan usaha ini juga didukung oleh banyaknya permintaan
(pemesanan) bibit yang mendorong banyak masyarakat membudidayakan komoditas ini
di lahannya. Dari fakta ini, disimpulkan bahwa alih teknologi budidaya jati
telah dilakukan oleh masyarakat dengan melakukan sosialisasi secara getok tular. Petani yang tertarik untuk
menanam jati, mereka akan belajar dari petani lain yang sudah lebih dahulu
membudidayakannya. Khususnya di lokasi penelitian di Balai TPT Kuro Tidur dan
sekitarnya, tahap awal pengembangan pembibitan jati kultur jaringan melibatkan
petani eks transmigran dan petani lokal. Mereka telah diberikan bimbingan
teknis tentang tahapan kegiatan pembibitan jati kultur jaringan skala kecil dan
teknis budidayanya.
Pada saat sosialisasi, responden memberikan tanggapan
yang beragam atas setiap tahapan kegiatan, pemikiran dan curahan tenaga kerja.
Sebagian besar responden mempunyai pandangan bahwa bibit jati hasil kultur
jaringan merupakan hal yang baru bagi mereka. Selama ini mereka hanya mengenal
bibit jati lokal dengan perbanyakan dari biji, stek, dan cabutan anakan yang
masih muda.
Dari hasil penelitian, sebagian besar responden tidak
tertarik melakukan usaha pembibitan jati kultur jaringan skala kecil untuk
kegiatan tambahan, karena masalah modal, dan pangsa pasarnya belum jelas (calon
pembeli bibit jati).
Sebagian besar responden belum mengetahui bahwa jati
dapat diperbanyak dengan teknik kultur jaringan. Mereka baru mengetahui jenis
jati ini dari sosialisasi yang telah dilakukan Balai Litbang TPT Kuro Tidur.
Teknologi kultur jaringan untuk perbanyakan bibit jati selama ini masih di
laksanakan oleh pihak produsen bibit dan belum dapat diadopsi oleh pihak lain seperti
transmigran ataupun petani. Menurut pihak produsen, teknologi kultur jaringan belum
dapat ditransfer ke pihak lain karena alasan teknis sehingga sampai saat
penelitian dilakukan belum terjadi alih teknologi kultur jaringan.
Analisis Ekonomi
Bahan dan alat-alat pendukung
Untuk melakukan pembibitan jati kultur jaringan skala
kecil (200 batang) diperlukan bahan dan alat-alat pendukung seperti alat-alat
pertanian, rumah bibit (naungan sederhana), pupuk organik, polibag dan media
tanam. Alat dan bahan tersebut dapat diperoleh dengan mudah di pasar terdekat,
yaitu pasar PT Maju. Bibit jati muda hasil kultur jaringan tidak tersedia di
lokasi. Bibit jati ini dapat di pesan ke produsen bibit di Jakarta minimal sebanyak 1.000 batang. Untuk
memudahkan dan efisiensi biaya pengangkutan, maka pemesanan diusahakan secara
berkelompok, sehingga mencapai jumlah bibit minimal (1000 batang). Alternatif
lain adalah memanfaatkan jasa Koperasi Unit Desa untuk memfasilitasi pemesanan
bibit jati. Menurut pihak produsen bibit, mereka sanggup memasok bibit jati,
asalkan pemesanan dilakukan secara kontinu.
Harga atau Biaya Bibit Jati Kultur Jaringan
Harga bibit jati kultur jaringan siap tanam (berumur 3-4
bulan) dipasaran Jakarta
adalah berikasar Rp. 17.000,- sampai Rp 17.500,- per batang. Sedangkan harga
bibit (berumur 1 - 1,5 bulan) yang akan dibesarkan adalah Rp 10.000,- per
batang, belum termasuk ongkos kirim. Untuk memudahkan dan efisiensi biaya
pengangkutan ke lokasi pembesaran bibit, dapat dilakukan secara berkelompok. Kegiatan
usaha pembersaran bibit menurut responden untuk saat ini tidak dapat
dilaksanakan karena harga bibit jati kultur jaringan dirasa cukup mahal dan
tidak ada satupun responden yang menyatakan murah.
Peningkatan Pendapatan atau Keuntungan
Penelitian ini belum dapat menghitung keuntungan aktual
usaha pembibitan jati kultur jaringan, karena sebagian besar responden yang
menerima bibit jati ternyata tidak memperdagangkannya, tetapi ditanam di
lahannya. Usaha pembibitan jati lokal yang telah berkembang seperti di kota Bengkulu dan
sekitarnya, menurut pelaku usahanya dapat mendatangkan keuntungan, sehingga
mereka masih dapat bertahan hingga sekarang setelah 3 tahun berjalan.
Modal usaha pembesaran bibit jati kultur jaringan lebih
banyak terserap pada pengadaan bibit (200 batang @ Rp 10.000,- atau Rp 2 Juta),
biaya pemeliharaan selama 4 bulan Rp 200.000,-, pengadaan bahan dan alat-alat sebesar
Rp 200.000,-, serta pembuatan biaya rumah bibit sebesar Rp 50.000,- Total biaya
yang diinvestasikan sebesar Rp 2,6 juta. Perkiraan keuntungan bersih (perdana)
dari usaha pembesaran bibit jati kultur jaringan skala kecil adalah Rp
880.000,- dengan harga jual bibit Rp. 17.500 tiap batang.
Analisis Sosial
Potensi Budidaya dan Pembibitan Tanaman Jati
Potensi tanaman jati dalam usahatani transmigran dan
penduduk setempat dapat diterapkan sebagai alternatif usaha tambahan seperti
budidaya jati skala kecil dan pembesaran bibit jati. Menurut penelitian,
budidaya jati skala kecil dapat dikembangkan dalam jumlah 10-15 batang yang
ditanam sebagai pagar pembatas lahan usaha (Trubus, 2001). Usaha pembesaran bibit
jati skala kecil dapat dilakukan pada skala 200 batang bibit. Untuk memudahkan
dan efisiensi biaya pengangkutan maka dapat dilakukan secara berkelompok (10–15
orang per kelompok). Keuntungan usaha berkelompok ini antara lain lebih mudah
membuka akses ke sumber modal dan efisiensi biaya transportasi.
Budidaya dan pembibitan jati di lokasi penelitian tidak
bertentangan dengan budaya usahatani setempat. Kelangkaan tanaman jati di
lokasi banyak disebabkan oleh pertimbangan pemasaran kayu jati yang memakan
waktu dan birokrasi panjang dan kenampakan kayu yang berlubang di tengah.
Disamping itu, tanaman jati bukan tanaman pilihan masyarakat sebagai tanaman
berumur pendek, lain halnya komoditas karet, kelapa genjah, kelapa sawit yang
mampu berproduksi dalam waktu relatif singkat.
Tenaga Kerja Tersedia
Rata-rata jumlah tenaga kerja yang dimiliki responden
dari penduduk setempat sebesar 5,2 orang, sedangkan kelompok eks transmigran
rata-rata jumlah tenaga kerja adalah 3,4 orang. Kesadaran keluarga berencana di
kalangan penduduk eks transmigran cukup tinggi jika dibandingkan dengan
penduduk setempat. Hal ini dikarenakan tujuan merantau responden eks
transmigran dari daerah asal adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
keluarganya. Walaupun jumlah tenaga kerjanya lebih banyak di desa penduduk
setempat dari pada desa eks transmigrasi, tetapi jumlah tenaga kerja efektif
hanya 2,3 orang per KK dan dicurahkan ke usahatani sebesar 1,5 orang per KK
untuk luasan garapan 1,0 ha (Tabel 2). Jumlah tenaga kerja efektif dan tenaga
kerja yang tercurah pada usahatani lebih besar di permukiman transmigrasi
dibanding desa setempat.
Tabel 2
Rata–rata Jumlah Tenaga
Kerja dan Luas Garapan di 4 Lokasi
No
|
Lokasi
|
Jumlah
Tenaga Kerja
|
Luas
Garapan (ha/KK)
|
||
Ketersediaan (orang/KK)
|
Efektif (orang/KK)
|
Usahatani (orang /KK)
|
|||
1
|
Desa Kuro Tidur (desa asli)
|
5,2
|
2,3
|
1,5
|
1
|
2
|
Desa Marga Sakti
|
3,5
|
2,4
|
1,8
|
1,6
|
3
|
Desa Tanjung Harapan
|
3,2
|
2,7
|
1,7
|
1,5
|
4
|
Desa Padang Jaya
|
3,6
|
2,5
|
1,7
|
1,4
|
Rata-rata
|
3,9
|
2,5
|
1,7
|
1,34
|
Pada awal usaha pembesaran bibit jati kultur jaringan
dibutuhkan curahan tenaga kerja sebanyak 20 HOK yang terdiri dari pembuatan
rumah bibit 6 HOK, pengadaan bahan dan alat (2 HOK) dan pemeliharaan bibit
selama 4 bulan 12 HOK. Dari Tabel diatas, terlihat bahwa tenaga kerja keluarga
di lokasi penelitian masih sisa 0,8 orang per KK. Dengan asumsi hari kerja
dalam satu bulan 25 hari, maka sisa tenaga kerja keluarga selama 4 bulan setara
80 HOK. Jumlah tenaga kerja efektif yang tersisa ini dapat dialokasikan untuk
usaha pembibitan jati kultur jaringan skala kecil.
Persepsi Transmigran tentang Peningkatan Pendapatan dari
Usaha Pembibitan.
Hasil diskusi dangan aparat instansi kehutanan dan
responden memperlihatkan bahwa sampai saat ini di Provinsi Bengkulu belum
pernah dilakukan pembibitan melalui kultur jaringan. Adanya sosialisasi jati
diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan baru bagi masyarakat. Berdasarkan
hasil analisis terungkap bahwa responden umumnya berpendapat pembibitan jati
kultur jaringan dapat meningkatkan keuntungan (nilai skor sebesar 87 atau cukup
baik).
Tabel 3.
Persentase Responden Menurut Persepsi Tentang Keuntungan Usaha Pembibitan Jati Kultur Jaringan
No
|
Persepsi
|
Frekuensi
|
%
|
Skor
|
1
|
Sangat menguntungkan
|
0
|
0
|
0
|
2
|
Menguntungkan
|
15
|
50,0
|
60
|
3
|
Cukup menguntungkan
|
6
|
20,0
|
18
|
4
|
Kurang menguntungkan
|
9
|
30,0
|
9
|
5
|
Tidak menguntungkan
|
0
|
0
|
0
|
Jumlah |
30
|
100
|
87
|
Setelah dilakukan sosialisasi, maka sebanyak 15
responden (50 persen) mengatakan bahwa pembibitan jati unggul dapat
meningkatkan pendapatan, sedangkan 6 responden (20 persen) menjawab cukup
menguntungan dan 9 responden (30 persen) menjawab kurang menguntungkan. Dalam
benak dan pikiran responden, usaha ini dapat meningkatkan pendapatan, namun
masih perlu ditelusuri lagi apakah responden mengenal jati kultur jaringan dan
berminat melakukan usaha pembibitan secara swadaya.
Jika ditelusuri pengetahuan responden tentang bibit jati
kultur jaringan sebelum sosialisasi dilakukan, umumnya mereka belum
mengenalnya. Sebanyak 53,3 persen responden penduduk setempat hanya mengenal
jati lokal dan sisanya 46,7 persen responden sama sekali tidak mengenal jati.
Mereka hanya membudidayakan tanaman karet dan kopi yang diusahakan secara turun
temurun dari orang tuanya. Disamping itu tingkat mobilitas mereka masih rendah
sehingga kesempatan mengenal jati di tempat lain tidak ada. Lebih dari 93
persen penduduk eks transmigran telah mengenal tanaman jati lokal di daerah
asalnya, sedang bibit jati kultur jaringan, umumnya belum mengenal (Tabel 4).
Tabel 4.
Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tanaman
Jati Sebelum Sosialisasi
No
|
Keterangan
|
Penduduk Lokal
|
Eks Transmigran
|
||
Frekuensi
|
%
|
Frekuensi
|
%
|
||
1
|
Mengenal
|
8
|
53,3
|
14
|
93,3
|
2
|
Tidak mengenal
|
7
|
46,7
|
1
|
6,7
|
Tanaman jati dapat dikatakan sangat jarang dibudidayakan di Kabupaten
Bengkulu Utara baik oleh pemerintah, swasta maupun penduduk setempat. Jati yang
tumbuh secara sporadis satu atau dua pohon di lahan penduduk lokal sebagian
besar tanpa pemeliharaan. Pemerintah daerah Kabupaten Bengkulu Utara selama ini
belum merekomendasikan tanaman jati sebagai tanaman hutan rakyat, sehingga ada
kekawatiran masyarakat setempat bahwa pemasaran jati akan menghadapi birokrasi
yang panjang dan berbelit-belit. Disamping itu serangan hama ani-ani (rayap) sangat
merugikan karena kayu jati menjadi berlubang yang menyebabkan harga kayu jati
menjadi sangat rendah. Permasalahan yang disebut di atas membuat tanaman jati
di daerah Kabupaten Bengkulu Utara menjadi tidak populer di kalangan penduduk
setempat. Menurut ahli jati kultur jaringan dari PT Fitotek (2002), program
sosialisasi bibit jati hasil kultur jaringan ini diharapkan dapat memberikan
nuansa baru sehingga dapat mengkikis pendapat yang keliru selama ini, karena
bibit ini sudah dikondisikan memperkecil lubang ditengah kayu. Adapun sumber
informasi pengenalan tanaman jati bagi responden penduduk lokal sebagian besar
dari melihat sendiri (53,3 persen) dan dari keluarga dan teman masing-masing
26,7 persen dan 20 persen. Sedangkan eks transmigran 73,3 persen melihat
sendiri pada waktu di daerah asal dan 26,6 persen memperoleh informasi dari
keluarga dan teman. Dari persepsi ini yang menarik adalah tingkat mobilitas
responden eks transmigran cukup tinggi, sehingga lebih terbuka kesempatan
menambah pengetahuan dan wawasan. Dengan pengetahuan dan wawasan yang tinggi
umumnya akan mudah menerima inovasi baru termasuk program sosialisasi bibit
jati kultur jaringan. Ini terlihat disaat sosialisasi dilaksanakan, transmigran
lebih dominan mengajukan pertanyaan tentang usaha budidaya dan pembibitan jati
kultur jaringan. Sumber informasi responden tentang tanaman jati dapat dilihat
dalam Tabel 5.
Tabel 5.
Persentase Responden Menurut
Sumber Informasi Tentang Tanaman Jati
No
|
Keterangan
|
Penduduk Lokal |
Eks Transmigran
|
||
Frekuensi
|
%
|
Frekuensi
|
%
|
||
1
|
Melihat
sendiri
|
8
|
53,3
|
11
|
73,3
|
2
|
Sosialisasi
|
0
|
0,0
|
0
|
0,0
|
3
|
Keluarga
|
4
|
26,7
|
3
|
20,0
|
4
|
Teman
|
3
|
20,0
|
1
|
6,7
|
Dari hasil tahap sosialisasi atau pengenalan bibit jati
kultur jaringan, terlihat bahwa minat responden masih kurang untuk usaha
pembesaran bibit jati. Hal ini disebabkan karena budidaya tanaman jati masih
baru dan petani masih ragu apakah jati dapat tumbuh dengan baik dan
menghasilkan kayu yang berkualitas di Provinsi Bengkulu. Namun ada harapan
mereka apabila usaha pembesaran bibit jati dapat dilakukan, diperlukan
kerjasama dengan produsen bibit atau dengan pihak mitra untuk menyediakan bibit
jati dan untuk pemasarannya. Sedangkan pengadaan bahan dan alat-alat seperti
pupuk, polibag, rumah bibit dan alat semprot dapat disediakan sendiri oleh
petani (Tabel 6).
Tabel
6.
Persentase
Responden Menurut Harapannya Terhadap Pembibitan Jati
No
|
Keterangan
|
Penduduk Lokal
|
Eks Transmigran
|
||
Frekuensi
|
%
|
Frekuensi
|
%
|
||
1
|
Menyediakan bibit jati muda
|
9
|
60,0
|
12
|
80,0
|
2
|
Menyediakan Bahan dan Peralatan (pupuk, polibag,
naungan dsb )
|
1
|
6,6
|
0
|
0,0
|
3
|
Pemasaran
|
5
|
33,3
|
3
|
20,0
|
Harapan
responden (56,7 persen) mengenai peran pemerintah agar usaha pembibitan jati
kultur jaringan dapat dilakukan oleh petani adalah mengadakan pelatihan calon
penangkar bibit karena mereka belum paham dalam usaha pembibitan jati kultur
jaringan. Sebanyak 23,3 persen responden berharap agar pemerintah membuka akses
ke sumber modal dan sebesar 20 persen lagi menginginkan program pendampingan
disertai penyuluhan.
ATabel
7
Persentase Responden Menurut
Persepsi Terhadap Peranan Pemerintah dalam Mengembangkan Pembibitan Jati Skala
Kecil.
No
|
Keterangan
|
Penduduk Lokal
|
Eks Transmigran
|
Total Responden
|
|||
Frekuensi
|
%
|
Frekuensi
|
%
|
Frekuensi
|
%
|
||
1
|
Pelatihan
|
9
|
60,0
|
8
|
33,3
|
17
|
56,7
|
2
|
Penyuluhan
|
1
|
6,7
|
2
|
13,3
|
3
|
10,0
|
3
|
Akses ke sumber modal
|
4
|
26,6
|
3
|
20
|
7
|
23,3
|
Pendampingan
|
1
|
6,7
|
2
|
13,3
|
3
|
10,0
|
Minat
Usaha Pembibitan Jati Kultur Jaringan Secara Swadaya
Sebagian
besar bibit jati yang diberikan melalui program sosialisasi, baik dari kultur
jaringan maupun lokal, ditanam di lahan responden. Ketika mereka mendapatkan
stimulan berupa bibit jati, maka yang ada dibenaknya adalah ditanam untuk
tabungan di hari tua. Pemikiran ini memang benar, tetapi mereka belum melihat
terobosan lain berupa usaha pembibitan jati kultur jaringan. Apabila dikelola
dengan baik, secara berkelompok dan berusaha mencari pasar, maka usaha ini
dapat menambah pendapatan.
Tabel 8.
Persentase Responden Menurut Minat Usaha
Pembibitan Jati Kultur Jaringan Secara Swadaya
No
|
Persepsi
|
Fekuensi |
%
|
Skor
|
1
|
Sangat berminat
|
0
|
0,0
|
0
|
2
|
Berminat
|
0
|
0,0
|
0
|
3
|
Cukup berminat
|
0
|
0,0
|
0
|
4
|
Kurang berminat
|
10
|
33,3
|
20
|
5
|
Tidak berminat
|
20
|
66,7
|
20
|
Jumlah
|
30
|
100
|
40
|
Sedangkan berdasar perhitungan skor jawaban
responden tentang prospek pengembangan pembibitan jati kultur jaringan di masa
depan, diperoleh nilai sebesar 108 (baik). Sebanyak 22 responden menilai usaha
tersebut berprospek cukup baik, yang terdiri dari 14 responden menyatakan baik
dan 8 responden menyatakan sangat baik. Dimasa mendatang usaha pembibitan jati kultur
jaringan diduga dapat berkembang dengan baik, asalkan sarana, prasarana dan
prospek pasar sudah terlihat nyata.
Intisari Analisis Kelayakan Pembibitan Jati Kultur
Jaringan Skala Kecil
Berdasarkan indikator teknis, ekonomi, dan
sosial yang telah diuraikan diatas, berikut ini disajikan hasil analisa
kelayakan pembibitan jati kultur jaringan skala kecil.
Tabel 9.
Analisis
Kelayakan Pemanfaatan Bibit Jati Kultur Jaringan sebagai Usaha Pembibitan Skala
Kecil
No
|
Indikator
|
Syarat
|
Kondisi
Faktual
|
Kelayakan
|
Teknis
a. Kondisi agroekologi
b. Tersedianya lahan
c. Kendala lain
d. Cara pemanfaatan bibit jati
e. Tanggapan dari Pemda
f. Institusi sebagai fasilitator
g. Alih teknologi
|
- Sesuai untuk tanaman jati
- Luasan lahan 100 m2
- Dapat diatasi
- Dapat dilakukan responden
- Sudah dilakukan oleh Pemda
-
- Bisa berjalan dengan baik
|
- Sebagian besar lokasi sesuai untuk
budidaya jati
- Luasan lahan yang tersisa 300-500
m2
- Dapat diatasi
- Dapat dilakukan oleh responden
-
Pemda belum merekomendasikan
-
- Responden antusias terhadap
teknologi baru
|
- Layak
- Layak
- Layak
- Layak
- Layak bersyarat
- Layak
- Layak
|
|
2
|
Ekonomi
a. Ketersediaan bibit jati dan bahan serta
alat
b. Biaya
c. Pengaruh pada pendapatan usahatani
|
- Tersedia dengan mudah di lokasi
- Terjangkau
- Nyata
|
- Responden dapat menemukan di lokasi
(pesan)
- Tidak terjangkau
- Berdasar prediksi nyata
|
|
3
|
Sosial
a. Kesesuaian terhadap budaya bertani
b. Ketersediaan tenaga kerja
c. Persepsi dan minat menggunakan bibit
kultur jaringan
d. Kecenderungan membiayai penggunaan
bibit kultur jaringan
|
- Tidak bertentangan
- Mampu dan cukup
- Besar persentase persepsi > 60 %
- Bersar persentase minat > 60 %
|
- Tidak bertentangan
- Mampu dan cukup
- 70 %
- 0 %
|
- Layak
- Layak
- Layak
- Tidak layak
|
Dari Tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pengembangan
dan pemanfaatan bibit jati kultur jaringan berpeluang untuk diaplikasi-kan di
kawasan transmigrasi, namun beberapa kendala ekonomi dan sosial seperti biaya
investasi dan kecen-derungan penggunaan bibit kultur jaringan perlu diatasi
terlebih dahulu.
Sintesis Analisis Kelayakan Bibit Jati Kultur Jaringan
Peluang dan Kendala
Penanaman jati oleh penduduk di Provinsi Bengkulu
meningkat sejak 3 tahun yang lalu. Sebagian besar pengembangannya berada di
Kabupaten Bengkulu Selatan. Di Kabupaten Bengkulu Utara pengembangannya
terkendala karena sosialisasi budidaya jati belum optimal. Jati yang
dikembangbiakkan adalah jenis lokal dengan perbanyakan secara vegetatif berupa
biji, stek dan cabutan. Kualitas galur jati lokal tersebut masih diragukan,
karena tidak jelas dari mana asal sumbernya. Sebagian besar jati yang
dibudidayakan berasal dari Lampung Selatan dengan nama atau merek dagang jati
super. Dengan adanya pengembangan jati di Provinsi Bengkulu, maka berkembang
pula usaha penyedia bibit yang dilakukan oleh penduduk setempat secara swadaya
untuk memenuhi permintaan bibit jati di daerah sekitarnya. Umumnya usaha
penyediaan bibit dilakukan oleh penduduk untuk menambah pendapatan dan bukan
untuk usaha utama.
Indikasi Teknis
1) Lokasi pengembangan usaha bibit jati
kultur jaringan berada pada daerah yang mempunyai agroekologi (iklim dan
kemiringan lahan) yang sesuai untuk budidaya jati. Berdasarkan indikator ini,
usaha bibit jati kultur jaringan dinilai layak untuk dikembangkan.
2) Meskipun sebagian besar lahan yang
dimiliki oleh penduduk sudah digunakan untuk usahatani, namun di lahan
pekarangan dengan luas 0,25 ha, masih tersisa antara 300-500 m2.
3) Peralatan dan bahan yang sederhana
untuk usaha penyediaan bibit jati kultur jaringan dapat ditemukan di lokasi
penelitian. Dari indikasi ini, terlihat bahwa usaha penyediaan bibit jati skala
kecil dapat dilakukan berupa pemeliharaan lanjutan bibit jati berumur sekitar
1-2 bulan (setelah masa aklimatisasi).
4) Pemda Provinsi Bengkulu dalam hal
ini Dinas Kehutanan belum merekomendasikan kayu jati sebagai tanaman kehutanan
untuk program penghijauan dan reboisasi maupun pengembangan hutan
kemasyarakatan. Sementara itu Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkulu Selatan telah
memprogramkan penanam-an jati sebagai tanaman hutan rakyat. Program ini dilihat
sebagai peluang ekonomi sehingga bermunculan usaha penyedia bibit yang
dilakukan oleh penduduk setempat. Peluang ekonomi tersebut ditangkap juga oleh
produsen bibit jati kultur jaringan, terlihat dari dibukanya cabang usaha di kota Bengkulu untuk
memasok bibit jati ke lokasi sekitarnya. Tanggapan positif juga datang dari
kalangan akademis Universitas Bengkulu. Penelitian-penelitian tentang adaptasi
jati sedang dilakukan oleh Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian. Pada intinya
jati dapat tumbuh dengan baik pada agroklimat daerah Bengkulu terutama pada
fase vegetatif.
5) Pihak swasta yang telah
mengembangkan bibit jati kultur jaringan di daerah Bengkulu bersedia menjadi
fasilitator pengembangan dan pemanfaatan jati kultur jaringan. Dengan
pengalaman yang matang di bidang usaha bibit jati ini, mereka dapat
menjembatani kepentingan penduduk dan pemerintah dalam mengembangkan tanaman
jati di daerah Bengkulu.
6) Sebagian besar transmigran telah
mengenal tanaman jati lokal dan ada yang telah menanam jati serta memanennya.
Dari sisi teknis pembibitan jati kultur jaringan, tahapan kegiatan yang
sederhana dan mudah dimengerti membuat alih teknologinya tidak akan mengalami
hambatan.
Indikasi Ekonomi
1) Sebagian
besar bahan dan alat-alat (sarana) usaha penyedia bibit jati tersedia di lokasi
penelitian. Permasalahan yang ditemui adalah proses kultur jaringan tidak
dilakukan di lokasi, sehingga bibit harus didatangkan dari tempat lain.
2) Usaha
penyedia bibit jati kultur jaringan terkendala oleh biaya investasi yang
relatif besar menurut standar transmigran, karena harga bibit jati berumur
1-1,5 bulan relatif mahal yaitu Rp. 10.000,- per polibag belum termasuk ongkos
kirim. Total biaya investasi usaha penyedia jati kultur jaringan untuk skala
kecil (200 polibag) adalah Rp. 2.000.000,-.
3) Potensi
peningkatan pendapatan dari usaha penyedia bibit jati kultur jaringan dihitung
berdasarkan data sekunder yang dipadukan dengan informasi lapang. Apabila harga
bibit jati siap jual berumur 4 bulan di pasaran Jakarta yang berkisar antara Rp.
17.000–17.500 per pohon digunakan sebagai acuan, maka keuntungan yang di
peroleh setelah 4 bulan pemeliharaan mencapai Rp. 780.000.
Indikasi Sosial
1) Dari
sisi budaya pertanian setempat tidak ditemukan kendala pengembangan tanaman
jati, bahkan ada eks transmigran yang sudah mengembangkannya sejak 20 tahun
lalu dan sekarang sudah memanen hasilnya. Demikian pula usaha pembibitan jati
kultur jaringan ternyata dapat diterima penduduk setempat karena tidak
bertentangan dengan nilai sosial dan budaya bertani.
2) Tenaga
efektif yang tersedia di lokasi penelitian rata-rata sebesar 2,5 per KK.
Curahan tenaga kerja usahatani rata-rata sebesar 1,7 per KK, sehingga ada sisa
tenaga kerja sebanyak 0,8 per KK atau setara dengan 80 HOK bila dihitung hari
kerja 25 hari tiap bulan. Sisa tenaga kerja tersebut dapat dialokasikan untuk
usaha pembibitan jati kultur jaringan skala kecil sebesar 20 HOK selama 4
bulan.
3) Sebagian
besar transmigran (70 persen) mempunyai persepsi bahwa usaha penyedia bibit
jati kultur jaringan dapat mendatangkan tambahan pen-dapatan.
4) Ketidakpastian
permintaan pasar terhadap bibit jati kultur jaringan menyebabkan transmigran
belum mengusahakannya secara komersil. Indikasinya terlihat dari sebagian besar
bibit jati yang dibagikan dalam sosialisasi ternyata ditanam dilahan
transmigran, jadi tidak diperdagangkan seperti yang dianjurkan
Rekomendasi
Berdasarkan kajian teknis, ekonomi dan sosial, maka
usaha pembibitan jati kultur jaringan yang disarankan untuk menambah pendapatan
transmigran dan penduduk lokal perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Karena proses kultur jaringan hanya
dapat dilakukan di laboratorium, maka perlu dibentuk kemitraan usaha antara
pengusaha pembibitan jati skala kecil dengan produsen bibit. Dengan demikian
kepastian pasokan bibit ke pengusaha pembibitan skala kecil bisa lebih
terjamin. Kemitraan tersebut juga dapat diarahkan untuk memecahkan masalah
ke-terbatasan modal pengusaha pembibitan jati skala kecil.
b. Agar biaya mendatangkan bibit jati
kultur jaringan dapat ditekan, maka pengusaha pembibitan jati skala kecil
disarankan membentuk kelompok antara 10 – 15 orang.
c. Perlu disusun program pelatihan
teknis dan manajemen usaha pembibitan serta perluasan pasar bibit jati kultur
jaringan.
d. Perlu sosialisasi keunggulan bibit
jati kultur jaringan kepada masyarakat dan aparat pemerintah sampai ke tingkat
provinsi sebagai alternatif bibit jati lokal.
Daftar Pustaka
Fawzia Sulaiman (2002). Sosialisasi dan Aplikasi Teknologi ke Petani. Puslitbang Sosial
Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta
.
Hartman dan Kester. 1978. Biochemical Engineering and Biotechnology
Handbook, Macmillan, London
.
Ika Mariska dkk. 1997. Penelitian Kultur Jaringan Tanaman Industri. Jurnal Litbang
Pertanian XVI (2). Jakarta
.
JALDA. 1999. The Final Report; of The Verification Study on Integrated Agricultural
and Rural Development for the Conservation of Tropical Forest in Indonesia
.
John E. Smith. 1993. Prinsip Bioteknologi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta .
Joedoro S. 1997. Status Penelitian Bioteknologi Pertanian di Indoensia. Prosiding
Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia .
Najiyati dkk. 2000. Studi Kelayakan Pemanfaatan Bioteknologi untuk Peningkatan Produksi di
UPT. Puslitbang BAKMP. Jakarta
.
PT. Perhutani, 1998. Pengembangan Hutan Tanaman Jati. Jakarta .
------------------, 2000. Pengembangan Tanaman Jati dan Analisa Ekonomi.
Jakarta
PT Fitotek, 2001. Jati Unggul. Jakarta
.
-------------, 2001. Pengembangan Hutan Rakyat Dengan Tanaman Jati Bagi Program Transmigrasi.Jakarta.
Rukmini N Dewi. 2001. Pemberdayaan Perambah Hutan dalam Pengembangan Budidaya Tanaman Jati
Unggul. Puslitbang Ketransmigrasian. Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.Jakarta.
Sugiono M. 1997. Pemanfaatan Bioteknologi Pertanian Secara Aman dan Legal. Prosiding
Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia .
Sunarlim. 1997. Perbaikan Teknik Budidaya Tanaman. Bulletin Agro. Jakarta
Trubus, 2001. Jati Investasi Hari Tua. Majalah Trubus Edisi 378. Mei 2001/XXXII. Jakarta .
Yansen. 2002. Evaluasi Pertumbuhan Jati pada Pola Tanaman Monokultur dan Polikultur
dengan Sawit. Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan kehutanan, Fakultas
Pertanian, Universitas Benkulu. Bengkulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar